Depok, –lensa publik .com
Pembangunan proyek jembatan Kali Jantung di Cilodong, hasil kerja sama lintas batas Kota Depok dan Kabupaten Bogor, menuai sorotan tajam. Proyek yang ditargetkan selesai pada 6 Oktober mendatang ini dinilai tidak hanya lambat dan asal-asalan, tetapi juga diduga kuat melanggar sejumlah aturan hukum dan prinsip transparansi yang diamanatkan Undang-Undang.
Keluhan utama masyarakat adalah tidak adanya papan nama proyek di lokasi pembangunan. Papan yang seharusnya memuat informasi dasar seperti nama pelaksana pekerjaan, nama konsultan pengawas, dan nilai anggaran proyek ternyata tidak terpasang.
Kondisi ini secara jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/PRT/M/2015 tentang Pedoman Sistem Pengadaan Kerja Konstruksi, yang mewajibkan pemasangan papan informasi proyek. Lebih dari itu, hal ini juga melanggar semangat Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi. Masyarakat, sebagai pemegang kedaulatan dan pihak yang terdampak, justru dibiarkan gelap mengenai detail penggunaan anggaran publik.
“Warga komplain terkait pengerjaan yang tidak selesai dalam waktu yang ditentukan, tetapi yang paling mendasar, kami bahkan tidak tahu siapa yang bertanggung jawab dan berapa uang rakyat yang dikeluarkan untuk proyek ini. Ini jelas pengingkaran terhadap prinsip akuntabilitas,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Masalah lain yang muncul adalah pengerjaan proyek yang tidak diawali dengan sosialisasi dan simulasi lalu lintas. Akibatnya, kemacetan parah terjadi di sejumlah titik. Kondisi lalu lintas yang kacau ini bahkan memaksa personel Provost Kostrad turun tangan untuk mengatur kendaraan yang tidak teratur.
Ketidakhadiran pemerintah dalam mengawasi dampak proyek ini dinilai sebagai bentuk kelalaian dalam melaksanakan kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dampaknya juga dirasakan pemilik usaha di sekitar lokasi yang mengeluhkan penurunan omzet akibat akses yang terhambat dan lambatnya pengerjaan.
Yang memperparah kondisi, proyek ini dikerjakan secara manual tanpa menggunakan alat berat, termasuk tidak adanya mesin sedot air untuk menangani genangan, sehingga dinilai sangat memperihatinkan. Metode ini dianggap tidak profesional, terlebih lokasi proyek berada di area objek vital militer yang sering dilintasi pejabat tinggi militer dan kendaraan alat utama sistem pertahanan (Alutsista).
Ketidakprofesionalan ini berpotensi mengganggu operasional dan keamanan fasilitas vital, yang seharusnya mendapatkan penanganan khusus dan serius dari pemerintah daerah.
Masyarakat menuntut transparansi dan tanggung jawab dari Dinas PUPR Kota Depok dan Dinas PUPR Kabupaten Bogor. Mereka mendesak kedua dinas tersebut untuk segera menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi, memastikan proyek sesuai jadwal, dan yang terpenting, membuka seluruh informasi proyek kepada publik.
Hingga berita ini diturunkan, berbagai komplain warga belum mendapatkan respons yang memadai dari pihak dinas terkait. Warga berharap, dengan mendasarkan tuntutan pada aturan hukum dan konstitusi, pemerintah dapat segera bertindak untuk memperbaiki pelaksanaan proyek ini dan memulihkan hak-hak masyarakat yang telah terabaikan.
(Elub)